Pak, ini Sepatuku

Haris Prasetio Budi 10 Maret 2015

Anak memiliki keingintahuan yang tinggi. Keingintahuan berawal dari tidak tahu. Kadang anak terlihat salah, padahal karena tidak tahu. Apakah anak harus disalahkan karena tidak tahu?

“ Awah besok ketika dewasa mau ngapain? Mau  jadi apa?” tanyaku  pada adik angkat saya yang bernama asli Hermawan membuka obrolan ketika kami hendak berangkat sekolah.

“Kuli ngored pak,”  jawab kurniawan yang mana kakak kandung hermawan.

Saya masih bengong apa yang dikatakan kurniawan, bahasa memang menjadi kendala saat awal-awal keberadaan saya di sini.

“ Apa itu ngored?” tanya saya penasaran.

“ Itu tu pak tukang bersih jukut di lebak.” Jawab kurniawan disambut renyah tawa mereka. Mendengar itu saya tertawa, ternyata Awah tengah digoda oleh kakanya sendiri bahwa besok besar awah ingin menjadi kuli bersih-bersih rumput di ladang.

Pagi itu saya sangat bersemangat untuk berangkat ke sekolah, belum ada sepuluh langkah dari rumah hostfam saya, tangan kanan saya sudah disambut segerombolan murid-murid yang berebut bersalaman dengan saya. Hal itu yang selalu menjadi cambuk semangat saya, murid saya saja bersemangat untuk berangkat ke sekolah dan menyambut gurunya dengan cara yang menggebu-menggebu, bukan menjadi alasan gurunya untuk bermalas malasan. Tetapi ada pemandangan yang ganjal di mataku, salah satu dari mereka ada yang tidak memakai sepatu, melainkan sandal. Saya yakin dia mempunyai sepatu dirumahnya, tetapi aku penasaran apa yang membuatnya tidak memakai sepatu.

“Samdani kenapa kamu tidak memakai sepatu?”  tanya saya ramah.

“ Basah pak,”  jawabnya sambil meringis.

“ Sepertinya kemarin tidak hujan, kalau dicuci samdani tau kalau sekarang sekolah kan? Lalu kenapa alasannya begitu?” tanyaku penasaran.

Paranas pak pake sepatu.” Jawabnya tak bersalah sambil tertawa, paranas dalam bahasa Indonesia maknanya sangat panas.

“ Eh samdani, kamu tau kan peraturan kalau ke sekolah? Lihat bapak, lihat teman-teman kamu memakai seragam lengkap, rapi, terlihat bagus tidak?” tanyaku sambil berjalan.

“ Bapak tadi bersemangat dari rumah, tetapi tiba-tiba sedih melihat kamu memakai sandal japit seperti itu”.  

“ Kenapa sedih pak?”  Tanya teman samdani lainnya.

“ Yah sedih sekali, tadi bapak melihat kalian sudah berdandan rapi, ganteng-ganteng, cantik-cantik, Bapak melihat kalian seperti boz-boz yang kaya dan sukses, memakai pakaian rapi, rambut dicukur rapi. Tapi tiba-tiba melihat samdani memakai sandal jepit, jadi Bapak merasanya sedih, masak murid bapak mau pergi sekolah seperti mau pergi ngored. Emang samdani mau jadi kuli ngored  ke sekolah?” tanyaku dengan muka berakting sedih.

Samdani hanya tersenyum menghadap ke bawah tanpa berkata apapun apalagi membantah seperti awal tadi.

Nasi goreng buatan Hostmom kusantap dengan kerupuk terasa nikmat di pagi berikutnya bersama dua adik angkatku, Hermawan dan Kurniawan.  Setelah makan bersama kedua adik angkat saya, Saya masuk kamar untuk mengambil tas dan memeriksa barang bawaan ke sekolah.

“Pak Haris...Pak Haris...” Tiba tiba terdengar suara salah satu muridku dari balik jendela.

Saha eta?”   Siapa tanyaku. Tidak ada satu katapun terjawab dari balik jendela.

“Pak Haris...Pak Haris...” Sahutan dari murid saya kembali terdengar lagi dari balik jendela.

“ Ya sebentar, bapak sedang menyiapkan barang dulu.”  Jawabku untuk menenangkan dirinya.

Tas sudah melekat di punggung saya, sepatu kuambil dari tempatnya, pintu rumah kubuka dan Saya terkejut. Sosok anak kecil, berbaju putih celana merah dengan setelan rapi, bersepatu dan tidak lupa rambut yang juga disisir rapi pula. Samdani namanya, tersenyum manis dengan pandangan mengarah ke bawah, lebih tepatnya melihat sepatu yang telah dipakainya.

Wow, ganteng sekali kamu pagi ini, ini bukan samdani yang kemarin, ini samdani yang bercita-cita jadi orang sukses,” sapaku untuk mengapresiasi Samdani. Setelah itu kita berangkat sekolah bersama-sama dengan satu semangat, yaitu semangat menuju kesuksesan.

Tunjukkan kesuksesanmu Samdani.....

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua